profil lembaga

profil lembaga
Kebersamaan yang hakiki...

Minggu, 25 Juli 2010

REHABILITASI DAERAH RAWAN BENCANA

A. LATAR BELAKANG
Provinsi jawa timur mempunyai luas kawasan hutan sekitar 1.357.206,36 ha atau 28% dari luas daratan. Luas kawasan tersebut, terdiri atas beberapa jenis hutan, diantaranya hutan produksi seluas 811.452,70 ha (59,79%), hutan lindung seluas 312.636,50 ha (23,04%), hutan konservasi seluas 233.117,16 ha (17,18%). Hasil produksi yang didapat dari hutan non HPH antara lain kayu bulat sebanyak 265.844 m³; kayu gergagian 1.237 m³; kayu olahan jati yang terdiri dari veneer sayat (3.079.321 m²); TOP (7.656 m³); dan penempelan veneer (444.790 m²).
Sejak terjadinya gerakan reformasi 1998, keberadaan hutan secara terus menerus mengalami kerusakan. Adanya kerusakan hutan tersebut, mengakibatkan terjadinya bencana alam, seperti angin topan, tanah longsor, banjir di saat musim penghujan, dan kekeringan di saat musim kemarau. Fakta tersebut, kita bisa lihat pada tahun 2009 hutan lebih dari 700.000 ha, mengalami rusak parah. Kerusakan hutan terbesar, diakibatkan adanya illegal logging dan kebakaran. Pada tahun 2009 hutan sedikitnya 660.000 ha atau lebih dari 50% mengalami kerusakan. Dari jumlah itu, 500.000 ha berada di luar kawasan lindung dan 160.000 ha, sisanya berada di kawasan hutan lindung dalam wilayah kelola Perhutani. Sementara itu, kawasan hutan Jawa Timur yang gundul 120.000 ha.
Kabupaten Madiun merupakan bagian dari kabupaten di provinsi Jawa Timur, mempunyai luas hutan 49,289 ha. Dengan adanya luas hutan tersebut, pada saan mengalami kritis baik kawasan hutan negara ataupun hutan rakyat. Pada saat ini jumlah luasan hutan negara di Kabupaten Madiun yang kritis mencapai 40.511 hektare dan hutan rakyat mencapai 8.778 hektare. Untuk mengembalikan kesuburan hutan dan mengurangi bencana alam, maka dibutuhkan 10000 pohon untuk ditanam bersama masyarakat yang berjumlah 686,875, orang.
Dengan melihat kondisi kerusakan hutan tersebut di atas, terjadi kontradiksi dengan banyak program yang telah dibuat oleh pemerintah baik melalui pemerintah pusat, pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten. Suatu misal program OMOT dapat mengajak semua semua pihak untuk bersatu dan meneguhkan jiwa untuk selalu berkomitmen mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari, serta meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dengan kepedulian dan semangat kebersamaan yang tumbuh subur, diharapkan mampu menjadi modal dasar dalam percepatan pencapaian target pembangunan kehutanan. Kelestarian sumberdaya hutan kini telah menjadi isu global. Untuk itu, seluruh dunia meyakini, bahwa hutan tidak hanya memiliki fungsi sosial ekonomi dan sosial budaya, tetapi juga fungsi ekologis yang peranannya sangat vital bagi sistem penyangga kehidupan. Terjadinya fenomena pemanasan global dan perubahan iklim, merupakan suatu tantangan bagi seluruh masyarakat. Salah satu upaya untuk mengurangi efek pemanasan global dan perubahan iklim adalah dengan memperbanyak pohon dengan menanam sebanyak-banyaknya.
Dengan demikian fakta di atas, pemerintah dalam membuat program melibatkan pihak ketiga seperti Lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang fokus pada pemberdayaan. Pihak ketiga, merupakan pihak yang netral untuk menjembatani terjadinya keterputusan komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat sekitar hutan. Sehingga keberadaan hutan, tidak lagi membawa bencana bagi masyarakat yang ada sekitar hutan, akan tetapi hutan membawa manfaat bagi masyarakat sekitar hutan. Sebagaimana yang tertuang dalam pasal 3 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, yang menyatakan bahwa ”penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Dalam pasal yang lain, mengamanatkan hutan merupakan salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat. Dengan demikian hutan hendaknya diurus dan dimanfaatkan secara optimal serta dijaga dan dipertahankan kelestariannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Pada masa era orde baru pengelolaan hutan lebih banyak diserahkan kepada para pemilik modal besar (perusahaan) secara professional dan porposional. Perusahaan tersebut, cukup dengan memegang Hak Penguasaan Hutan (HPH). Namun sayangnya pada pengawasan terhadap jalannya proses pengelolaan hutan yang dilakukan oleh para pemegang HPH tidak taat azas, sehingga terjadilah degradasi hutan yang dilakukan secara sistematis. Disamping kesalahan tersebut, yang tidak kalah pentingnya ksesalahan yang dilakukan oleh pemilik HPH, adalah tidak melibatkan masyarakata sekitar. Kalau kita melihat masyarakat yang tinggal di sekitar hutan yang aktivitas hidupnya sangat bergantung pada keberadaan hutan oleh para pemegang HPH hanya dijadikan penonton semata. Bahkan terkadang keberadaan perusahaan pemegang HPH hanya menjadikan mereka sebagai kaum yang di marjinal. Kebijakan ini membawa dampak ketika masyarakat sedang membutuhkan yang ada dalam hutan, masyarakat menggunakan cara sendiri untuk mendapatkan apa yang menjadi kebutuhannya.
Pada saat belum adanya perusahaan yang mengelolah hutan, masyarakat sekitar hutan sudah terbiasa mengelolah hutan secara tradisional dan masih bisa hutan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, namun setelah muncul perusahaan, akses mereka dibatasi bahkan diputus. Akibatnya, kondisi kehidupan masyarakat semakin terpuruk yang semakin melemahkan kapabilitas mereka dalam menunjukkan perannya dalam pengelolaan sumber daya hutan. Akibatnya, masyarakat merasa tidak diperdulikan dan tidak dihargai sehingga pada gilirannya dalam diri mereka hilang sense of belonging dan sense of responsibility terhadap hutan.
Lahirnya era reformasi telah membuat banyak perusahaan pemegang HPH yang berhenti beroperasi. Perusahaan-perusahaan tersebut, dilikuidasi oleh pemerintah baru, karena terbukti telah mengeksploitasi hutan dengan tidak memperhatikan kaidah-kaidah sustainability.
Sepeninggalan HPH, masyarakat sekitar hutan merasa terbebas dari tekanan yang sebelumnya menghimpit mereka. Mereka merasa tidak ada lagi pihak yang menghalangi mereka untuk memanfaatkan hutan. Apabila pemanfaatan ini tidak dilakukan dengan mengedepankan asas kelestarian hutan, maka kerusakan hutan yang sebelumnya dilakukan oleh persahaan.akan berlanjut, dengan berganti pelaku, yaitu masyarakat. Hal ini mungkin dapat dipahami, karena sebagai akibat pola memarjinalkan yang sebelumnya dilakukan oleh perusahaan pemegang HPH, masyarakat sekitar hutan tersebut memiliki kapasitas/kemampuan yang lemah dalam pengelolaan hutan, serta telah memudarnya sense of belonging dan sense of responsibility. Fenomena seperti ini menampak di berbagai wilayah di Indonesia.
Pada saat ini, pemerintah telah menyadari pentingnya eksistensi masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan lestari. Masyarakat sekitar hutan dapat menjadi ujung tombak bagi kelestarian hutan. Perilaku mereka dalam berinteraksi dengan hutan dapat diarahkan pada terciptanya hutan lestari. Oleh karena itu, berbagai program pembangunan kehutanan yang diluncurkan pada saat ini menegdepankan pendekatan resource based management yang berbasis pada forest community based development.
Paradigma baru ini merupakan model pembangunan yang berpusat pada masyarakat sekitar hutan. Model pembangunan ini mengajak masyarakat sekitar hutan berperan aktif dalam pengelolaan hutan, dengan mengedepankan prakarsa dan kekhasan masyarakat. Bentuk keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan sangat diperlukan agar aspek kelestarian hutan tetap terjaga, dan kesejahteraan masyarakat secara ekonomi dapat tercapai. Namun demikian, lemahnya kapasitas masyarakat sekitar hutan menyebabkan mereka masih belum mampu secara optimal berperan serta dalam pengelolaan hutan.
Berbagai bentuk upaya pemberdayaan telah diluncurkan pemerintah dalam bentuk program-program berbasis masyarakat seperti program social forestry, hutan rakyat, hutan kemasyarakatan. Kegiatan-kegiatan tersebut, pada hakekatnya merupakan upaya memberdayakan masyarakat sekitar hutan dengan mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Salah satu alasan penting kenapa diperlukan, memberikan kesempatan masyarakat memperoleh manfaat dari hutan, dan baik secara ekologi dan secara ekonomi.
Dalam prakteknya, masih banyak program berbasis masyarakat dijalankan atas dasar konsep/pemahaman yang belum taat azas sehingga pelaksanaan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan menjadi tidak tepat, akibatnya anggota masyarakat belum sepenuhnya menjadi berdaya dan belum mampu menjadi partisipan aktif pembangunan kehutanan. Kebanyakan yang terjadi adalah masyarakat hanya diajak untuk melegitimasi suatu program tanpa mengetahui persis apa yang dilakukan dan hasil apa yang telah dicapai. Program pemberdayaan harus mengedepankan peningkatan kemampuan (skill) masyarakat dalam menganalisa kondisi, melihat potensi yang dimiliki oleh masyarakat serta masalah-masalah yang perlu diselesaikan terlebih dahulu. Masyarakat berperan serta dalam proses pengambilan keputusan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan sampai tahap penilaian kegiatan yang dikembangkan oleh dan untuk mereka. Pemberdayaan masyarakat dalam rangka pelestarian hutan merupakan hal yang mendasar dan positip, di mana kesadaran kritis dan kapasitas masyarakat dibangun dan dikembangkan, sehingga masyarakat dapat menjadi sutradara bagi dirinya sendiri dan dapat mengelola dan melakukan kontrol sepenuhnya terhadap pengelolaan sumber daya hutan.

Apa dan kenapa rehabilitasi daerah rawan bencana dan pembentukan relawan hijau di laksanakan ?
Rehabilitasi merupakan gerakan untuk mengembalikan fungsi hutan sebagai lahan yang membawa manfaat terhadap masyarakat baik saat musim hujan maupun pada saat musim kemarau. Latar belakang gerakan rehabilitasi, melihat kondisi hutan yang hanya dieksploitasi oleh sebagian kecil orang tanpa melihat akibat yang akan terjadi setelah terjadi eksploitasi hutan. Kalau kita melihat dampak yang akan terjadi ketika hutan gundul adalah tanah longsor, banjir pada saat musim hujan dan pada saat musim kemarau terjadi panas. Dengan melihat dampak yang akan terjadi pada dua musim tersebut, maka perlu adanya gerakan untuk melakukan keseimbangan dalam mengelolah hutan. Hutan tidak hanya nikmati hasilnya, akan tetapi membutuhkan keseimbangan. Kejadian longsor, banjir merupakan dampak yang dirasakan oleh masyarakat secara umum,
Sedangkan Relawan Hijau (RH) adalah sebutan terhadap seorang yang sengaja dibentuk untuk peduli dengan keberadaan hutan di kabupaten Madiun.
Gerakan Rehabilitasi hutan sengaja dilaksanakan oleh Kelompok Kajian Kebijakan dan Demokrasi Jawa Timur (LoKKed Jatim), untuk mengembalikan nilai dasar hutan, melakukan kampanye tentang dampak dari adanya eksploitasi terhadap hutan melalui media baik cetak maupun elektronik, melakukan penyadaran terhadap masyarakat sekitar hutan, melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat sekitar hutan, dan melaksanakan penanaman pohon yang cepat membawa manfaat terhadap masyarakat sekitar hutan, serta perawatan terhadap pohon tersebut.

B. DASAR PEMIKIRAN
Pemberdayaan masyarakat dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan sosial secara sadar dalam suatu penduduk untuk mengorganisasikan diri dalam membuat perencanaan, organisasi, manajemen organusasi, tindakan secara kolektif dalam memecahkan masalah sosial yang dihadapi oleh komunitas. Dalam memenuhi kebutuhan sosial, ekonomi dan keadilan masyarakat melakukan sesuai dengan kemampuan dan sumberdaya manusia yang dimilikinya oleh suatu komunitas. Dalam kenyataannya, seringkali proses ini, tidak muncul dengan sendirinya (alami), melainkan tumbuh dan berkembang berdasarkan adanya interaksi masyarakat setempat dengan pihak luar atau para pekerja sosial baik yang bekerja berdasarkan dorongan karitatif maupun perspektif profesional. Para pekerja sosial ini, berperan sebagai pendamping sosial dalam mewujudkan keinginan masyarakat.
Masyarakat yang terpinggirkan (termarjinalkan) oleh sistem, mereka secara sumber daya lemah, rata-rata mereka jauh dari informasi serta pusat kebijakan. Masyarakat yang termarjinalkan seringkali merupakan kelompok yang tidak berdaya baik karena hambatan internal dari dalam dirinya maupun tekanan eksternal dari lingkungannya. Pendamping sosial kemudian hadir sebagai agen perubah yang turut terlibat membantu memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat yang termarjinalkan tersebut. Pendampingan sosial dengan demikian dapat diartikan sebagai dinamisasai dan motifator bagi kelompok miskin yang termarjinalkan tersebut. Dalam melakukakan aktifitasnya para pekerja sosial secara bersama-sama masyarakat menghadapi beragam tantangan seperti; (a) mengemabilaka mental dan pola piker yang selama ini berlaku disistem sosial masyarakat. (b) merancang program perbaikan kehidupan sosial ekonomi, (c) menciptakan kemapuan (skill) masyarakat. (d) memanfaatkan sumber daya alam yang dimasyarakat setempat (e) memecahkan masalah sosial, (f) menciptakan atau membuka akses bagi pemenuhan kebutuhan, dan (e) menjalin kerjasama dengan berbagai pihak yang relevan dengan konteks pemberdayaan masyarakat.
Pendampingan sosial sangat menentukan kerberhasilan program penanggulangan kemiskinan. Mengacu pada Ife (1995), peran pendamping umumnya mencakup tiga peran utama, yaitu: fasilitator, pendidik, perwakilan masyarakat, dan peran-peran teknis bagi masyarakat miskin yang didampinginya.
1. Fasilitator. Merupakan peran yang berkaitan dengan pemberian motivasi, kesempatan, dan dukungan bagi masyarakat. Beberapa tugas yang berkaitan dengan peran ini antara lain menjadi model, melakukan mediasi dan negosiasi, memberi dukungan, membangun konsensus bersama, serta melakukan pengorganisasian dan pemanfaatan sumber.
2. Pendidik. Pendamping berperan aktif sebagai agen yang memberi masukan positif dan direktif berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya serta bertukar gagasan dengan pengetahuan dan pengalaman masyarakat yang didampinginya. Membangkitkan kesadaran masyarakat, menyampaikan informasi, melakukan konfrontasi, menyelenggarakan pelatihan bagi masyarakat adalah beberapa tugas yang berkaitan dengan peran pendidik.
3. Perwakilan masyarakat. Peran ini dilakukan dalam kaitannya dengan interaksi antara pendamping dengan lembaga-lembaga eksternal atas nama dan demi kepentingan masyarakat dampingannya. Pekerja sosial dapat bertugas mencari sumber-sumber, melakukan pembelaan, menggunakan media, meningkatkan hubungan masyarakat, dan membangun jaringan kerja.

4. Peran-peran teknis. Mengacu pada aplikasi keterampilan yang bersifat praktis. Pendamping dituntut tidak hanya mampu menjadi ‘manajer perubahan” yang mengorganisasi kelompok, melainkan pula mampu melaksanakan tugas-tugas teknis sesuai dengan berbagai keterampilan dasar, seperti; melakukan analisis sosial, mengelola dinamika kelompok, menjalin relasi, bernegosiasi, berkomunikasi, memberi konsultasi, dan mencari serta mengatur sumber dana.
Pada perkembangan ilmu pengetahuan, para ilmuan memberikan pengertian tentang pemberdayaan masyarakat (community empowerment) dan pembangunan masyarakat (community development). Dua konsep tersebut, kadang-kadang sangat sulit dibedakan anatar penguatan masyarakat dengan pembangunan masyarakat (community development). Hal tersebut, dikarenakan pada prakteknya saling tumpang tindih, saling menggantikan.
Pendapat dari Cook (1994) menyatakan pembangunan masyarakat merupakan konsep yang berkaitan dengan upaya peningkatan atau pengembangan masyarakat menuju kearah yang positif. Sedangkan Giarci (2001) memandang community development sebagai suatu hal yang memiliki pusat perhatian dalam membantu masyarakat pada berbagai tingkatan umur untuk tumbuh dan berkembang melalui berbagai fasilitasi dan dukungan agar mereka mampu memutuskan, merencanakan dan mengambil tindakan untuk mengelola dan mengembangkan lingkungan fisiknya serta kesejahteraan sosialnya. Proses ini berlangsung dengan dukungan collective action dan networking yang dikembangkan masyarakat. Sedangkan Bartle (2003) mendefinisikan community development sebagai alat untuk menjadikan masyarakat semakin komplek dan kuat. Ini merupakan suatu perubahan sosial dimana masyarakat menjadi lebih kompleks, institusi lokal tumbuh, collective power-nya meningkat serta terjadi perubahan secara kualitatif pada organisasinya.
Berdasarkan persinggungan dan saling menggantikannya pengertian community development dan community empowerment, secara sederhana, Subejo dan Supriyanto (2004) memaknai pemberdayaan masyarakat sebagai upaya yang disengaja untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam merencanakan, memutuskan dan mengelola sumberdaya lokal yang dimiliki melalui collective action dan networking sehingga pada akhirnya mereka memiliki kemampuan dan kemandirian secara ekonomi, ekologi, dan sosial”.
Dalam pengertian yang lebih luas, pemberdayaan masyarakat merupakan proses untuk memfasilitasi dan mendorong masyarakat agar mampu menempatkan diri secara proporsional dan menjadi pelaku utama dalam memanfaatkan lingkungan strategisnya untuk mencapai suatu keberlanjutan dalam jangka panjang. Pemberdayaan masyarakat memiliki keterkaitan erat dengan sustainable development dimana pemberdayaan masyarakat merupakan suatu prasyarat utama serta dapat diibaratkan sebagai gerbong yang akan membawa masyarakat menuju suatu keberlanjutan secara ekonomi, sosial dan ekologi yang dinamis. Lingkungan strategis yang dimiliki oleh masyarakat lokal antara lain mencakup lingkungan produksi, ekonomi, sosial dan ekologi. Melalui upaya pemberdayaan, warga masyarakat didorong agar memiliki kemampuan untuk memanfaatkan sumberdaya yang dimilikinya secara optimal serta terlibat secara penuh dalam mekanisme produksi, ekonomi, sosial dan ekologi-nya. Secara ringkas keterkaitan antara pemberdayaan masyarakat dengan sustainable development.
Pemberdayaan masyarakat terkait erat dengan faktor internal dan eksternal. Tanpa mengecilkan arti dan peranan salah satu faktor, sebenarnya kedua faktor tersebut saling berkontribusi dan mempengaruhi secara sinergis dan dinamis. Meskipun dari beberapa contoh kasus yang disebutkan sebelumnya faktor internal sangat penting sebagai salah satu wujud self-organizing dari masyarakat namun kita juga perlu memberikan perhatian pada faktor eksternalnya.
Seperti yang dilaporkan Deliveri (2004), proses pemberdayaan masyarakat mestinya juga didampingi oleh suatu tim fasilitator yang bersifat multidisplin. Tim pendamping ini merupakan salah satu faktor eksternal dalam pemberdayaan masyarakat. Peran tim pada awal proses sangat aktif tetapi akan berkurang secara bertahap selama proses berjalan sampai masyarakat sudah mampu melanjutkan kegiatannnya secara mandiri. Dalam operasionalnya inisiatif tim pemberdayaan masyarakat (PM) akan pelan-pelan dikurangi dan akhirnya berhenti. Peran tim PM sebagai fasilitator akan dipenuhi oleh pengurus kelompok atau pihak lain yang dianggap mampu oleh masyarakat. Berdasar beberapa pengalaman dilaporkan bahwa pemunduran Tim PM dapat dilakukan minimal 3 tahun setelah proses dimulai dengan tahap sosialisasi. Walaupun tim sudah mundur, anggotanya tetap berperan, yaitu sebagai pensehat atau konsultan bila diperlukan oleh masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat sebagai salah satu tema sentral dalam pembangunan masyarakat seharusnya diletakkan dan diorientasikan searah dengan paradigma baru pendekatan pembangunan. Paradigma pembangunan lama yang bersifat top-down perlu direorientasikan menuju pendekatan bottom-up yang menempatkan masyarakat di pedesaan sebagai pusat pembangunan atau oleh Chambers dalam Anholt (2001) sering dikenal dengan semboyan “put the farmers first”.
Aspek penting dalam suatu program pemberdayaan masyarakat adalah program yang disusun sendiri oleh masyarakat, mampu menjawab kebutuhan dasar masyarakat, mendukung keterlibatan masyarakat dan kelompok yang terpinggirkan, dibangun dari sumberdaya lokal, sensitif terhadap nilai-nilai budaya lokal, memperhatikan dampak lingkungan, tidak menciptakan ketergantungan, berbagai pihak terkait terlibat (instansi pemerintah, lembaga penelitian, perguruan tinggi, LSM, swasta dan pihak lainnya), serta dilaksanakan secara berkelajutan.

C. DASAR HUKUM
1. Undang - Undang nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan;
2. Peraturan Pemerintah nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan;
3. Peraturan Pemerintah nomor 06 tahun 2007 tentang Kehutanan;
4. Peraturan Pemerintah nomor 30 tahun 2003 tentang perusahaan umum Kehutanan Negara ;
5. Peraturan Pemerintah nomor 14 tahun 2001 tentang perubahan Perum menjadi PT perhutani (Persero) ;


D. TUJUAN PEMBENTUKAN RELAWAN HIJAU
• Goal
Mengembalikan fungsi hutan sebagai lahan yang bermafaat bagi masyarakat dan pemerintah.

• Output
 Membangun pemahaman terhadap masyarakat tentang pentingnya keseimbangan dalam pengelolah hutan.
 Meminimalisir terjadi tanah longsor, dan hutan gundul.
 Merubah paradigma masyarakat tentang hutan milik pemerintah.
 Adanya gerakan masyarakat yang dalam mengelolah hutan.

• Input
 Organisasi Sosial Kepemudaan yang ada di tingkat desa;
 Lembaga Swadaya masyarakat;

E. WILAYAH PROGRAM
Secara umum program reboisasi hutan dilaksanakan di Kabupaten Madiun. Melihat Kabupaten Madiun sejak terjadinya gerakan reformasi 1998, mengalami masalah dengan bencana alam (longsor, kekeringan). Karena hutan hanya manfaatnya secara ekonomi tanpa dibarengi dengan keseimbangan dalam mengelolah hutan. Dengan demikian perlu, adanya gerakan secara sistematis dalam melakukan mengembalikan hutan sebagai lahan yang bermanfaat bagi masyarakat dan pemerintah. Gerakan secara sistematis yang kami maksudkan adalah melakukan penyadaran terhadap masyarakat sekitar hutan, melakukan penanaman pohon untuk mengembalikan kesuburan tanan dan melakukan perawartan terhadap pohon yang ditanam.

F. LEMBAGA PENGUSUL
Program ini diusulkan Oleh Kelompok Kajian Kebijakan dan Demokrasi (LoKKeD-JATIM) yang berkantor di Perumahan Wisma Kedung Asem Indah FF 15, Rungkut Surabaya,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar